Salah satu tantangan yang akan dihadapi wanita saat telah menjalin rumah tangga adalah kemampuan untuk taat pada suami. Taat pada suami menjadi salah satu simbol yang mencerminkan kualitas baik dan kesalehan dalam diri wanita, hal ini karena dengan taat pada suaminya ia hampir memenuhi tugas pentingnya dalam berkeluarga.
Tantangan yang lebih menanjak akan muncul jika kewajiban taat pada suami dihadapkan dengan hal-hal eksternal lain, seperti urusan dengan orang tua, atau urusan dengan guru. Saat antara perintah suami bertolak belakang dengan perintah orang tua, atau perintah suami bertolak belakang dengan perintah guru, sering banyak wanita tidak mengerti perintah manakah yang menjadi prioritas untuk kita taati.
Karena itu dalam tulisan ini penulis akan menguraikan tentang konsep kewajiban serang wanita untuk taat pada suaminya, dan bagaimana jika perintah tersebut bertentangan dengan perintah guru kita.
Dalil Istri Wajib Taat kepada Suami
Salah satu ayat yang menguraikan pentingnya perempuan untuk taat kepada suami adalah surat An-Nisa’ ayat 34 yang berbunyi:
فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ
Artinya, “Perempuan-perempuan salehah adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka).”(QS An-Nisa’: 34).
Menurut Imam Fakhruddin Ar-Razi ayat tersebut mengandung isyarat perintah dari Allah agar seorang istri taat kepada suami. Menurutnya seorang wanita tidak bisa dikategorikan sebagai wanita baik (shalehah) jika ia tidak patuh pada suaminya. (Mafatihul Ghaib, Dar Ihya’ Turast Al-Arabi, juz X, halaman 71).
Selain dalam Al-Qur’an kewajiban taat pada suami lebih banyak dijelaskan oleh hadis-hadis nabi tentang urusan rumah tangga, di antaranya adalah hadis yang diceritakan oleh sahabat Abu Hurairah ra:
لو كنت امر احدا ان يسجد لاحد لامرت المرأة ان تسجد لزوجها. رواه الترمذي
Artinya, “ Andaikan Aku (Muhammad) ingin memerintah seseorang bersujud kepada orang lain maka akan Ku perintahkan seorang wanita bersujud kepada suaminya”.(HR At-Tirmidzi).
Islam memosisikan seorang suami sebagai sosok yang harus ditaati dan dihormati sebagai imam dan kepala rumah tangga. Hal ini berkaitan erat dengan timbal balik atas adanya kewajiban dan tanggung jawab besar yang diemban oleh seorang suami terhadap istrinya.
Ketaatan Istri kepada Suami
Ketaatan istri terhadap suami berdasarkan surat An-Nisa’ di atas harus bersifat dawamatau konsisten. Setidaknya kewajiban utama seorang wanita saat ia menjadi istri terbagi ke dalam dua kondisi. Pertama adalah saat suami hadir di sampingnya, dan kedua adalah saat suami sedang tidak ada di dekatnya.
Kewajiban istri yang suaminya berada di dekatnya adalah selalu mematuhi perintah sang suami, memasrahkan diri, dan memenuhi hak-haknya. Sedangkan kewajiban istri jika suaminya tidak sedang di sisinya adalah menjaga kehormatan diri, menjaga harta suami, dan juga menjaga tempat tinggalnya. (Al-Razi, X/71).
Ketaatan istri kepada suami bisa digambarkan melalui dua bentuk utama. Pertama adalah mematuhi perintah suami dan kedua adalah dengan cara tidak keluar dari rumah jika belum mendapatkan izin darinya. (An-Nawawi, Raudatuth Thalibin, [Darul Kutub Al-Alamiyyah, juz VII, halaman 344).
Ketaatan kepada suami umumnya oleh ulama diartikan sebagai sikap untuk tidak menahan diri, atau melakukan suatu hal yang dapat menahan dirinya dari memenuhi hak suami berupa istimta’(akses kebutuhan seksual). Meski demikian, terdapat kewajiban lain bagi seorang istri untuk dapat bergaul dengan baik terhadap suaminya (muasyarah bil ma’ruf) dengan tidak menampakkan wajah masam dan tidak berkata atau bersikap yang menyakitkan terhadapnya. (Muhammad Al-Khalili, Fatawi Al-Khalil ‘ala Madzhabi Imam As-Syafi’i, Dar Al-Kutub Al-Alamiyyah, halaman 1137).
Ketentuan ketaatan kepada suami yang dimaksud oleh syariat hanya berkaitan dengan hal-hal yang tidak bertentangan dengan ajaran agama. Jika perintah yang diberikan suami merupakan tindakan yang mengandung unsur maksiat dan dosa, maka perintah tersebut tidak boleh ditaati.
Antara perintah Suami dan Guru
Selain suami syariat juga mengajarkan perempuan untuk menghormati guru. Sebab guru memiliki hak dan kontribusi besar dalam kehidupan. Bahkan ulama berkata, kontribusi guru agama terhadap kehidupan muridnya dianggap melebihi peranan orang tua terhadap anaknya. Sebab gurulah yang mengajarkan manusia untuk mengenal Allah swt.
Adapun di antara cara memuliakan guru adalah dengan patuh sam’an wa tha’atanterhadap setiap hal yang diperintahkan. Hal ini sesuai dengan salah satu pesan yang disampaikan oleh Syekh Az-Zarnuji, seorang murid harus menjauhi kemurkaan guru dengan cara melakukan setiap hal yang diperintahkan selama hal tersebut tidak bertentangan dengan perintah syariat. (Ta’limul Muta’allim, [Al-Haramain], halaman 20).
Dalam narasi yang lebih padat Az-Zarnuji menguraikan, ketaatan pada guru dilakukan dalam rangka mencari ridha, menjauhi murka, dan tidak menyakitinya. Sebab orang yang menyakiti hati guru akan terhalang dari keberkahan ilmu
Berkaitan dengan relasi guru dan murid, Ibnu Mufih Al-Maqdisi dari kalangan Hanabilah mengatakan, kewajiban murid terhadap guru tidak berlaku dalam setiap hal dan kondisi, tapi hanya berlaku atas hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan. (Al-Adabus Syar’iyah, [Dar Kutub Al-Alamiyyah], juz I, halaman 440).
Pendapat ini senada dengan kasus yang tegas dipaparkan oleh Sayyid Abu Bakar Ad-Dimyathi:
وليس منه ما جر ت به العادة من أن المتعلم إذا توجه عليه حق لغيره يأتي صاحب الحق للشيخ، ويطلب منه أن يخلصه من المتعلم منه، فإذا طلبه الشيخ منه ولم يوفه فليس له ضربه ولا تأديبه على الإمتناع من توفية الحق، فلو عزره الشيخ بالضرب وغيره حرم عليه ذلك لأنه لا ولاية له عليهم
Artinya, “Tidak termasuk dalam bolehnya menghukum murid, yakni kasus yang biasa terjadi di mana ketika seorang murid memiliki tanggungan terhadap orang lain, lalu orang tersebut mendatangi guru agar guru meminta muridnya untuk melunasinya.
Jika murid tidak memenuhi perintah melunasi tanggungan tersebut, maka guru tidak boleh untuk memukul murid, dan tidak boleh menghukumnya atas penolakan memenuhi hak tersebut. Jika sang guru menghukum dengan memukul dan selainnya, maka hal tersebut hukumnya haram, sebab sang guru tidak memiliki kewenangan atas hal tersebut”. (I’anatut Thalibin, [Darul Kutub Al-Islamiyyah, juz VI, halaman 306).
Ilustrasi kasus di atas mengarahkan kita dalam penjelasan yang cukup rasional oleh Dr Ahmad As-Syarbasi bahwa kewajiban taat seorang anak terhadap orang tua, juga taatnya istri kepada suami merupakan dua kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat berdasarkan nash-nashyang sharih. Karena itu dapat disimpulkan bahwa kewajiban taat kepada suami dan orang tua didahulukan daripada ketaatan pada guru, apalagi jika hal tersebut tidak berkaitan dengan urusan pendidikan. Wallahu a’lam bis shawab.
Ustadzah Shofiyatul Ummah, Pengajar PP Nurud-Dhalam Ganding Sumenep