Assalamualaikum wr wb.Perkenalkan saya Rijal Habibulloh. Saat ini Saya sedang melanjutkan studi di Korea Selatan. Saya seorang warga Nahdliyyin yang dalam amaliyah sehari-hari mengikuti kebiasaan warga NU.

Di sini saya mengalami kesulitan dalam memilih makanan yang halal. Misalnya, ketika makan di restoran yang ternyata juga menyediakan makanan haram (babi), saya khawatir alat masak dan alat makannya bercampur.

Selain itu, membeli makanan dengan label halal juga sangat sulit. Bahkan, ketika menemukan makanan yang secara zat halal seperti kacang, ikan dan lain-lain. Saya biasanya memeriksa terlebih dahulu apakah pabriknya juga memproduksi makanan haram atau tidak dengan cara scan barcode nanti akan muncul informasi bahwa produk tersebut dibuat di pabrik yang juga memproduksi daging babi atau tidak.

Saya mau bertanya dari perspektif saya yang menganut mazhab Syafi’i, apa yang sebaiknya saya lakukan? Apakah saya perlu mempertimbangkan untuk berpindah mazhab? Jika pindah mazhab, apa perbedaan dalam amaliah sehari-hari yang perlu saya perhatikan? Terimakasih. (Rijal Habibulloh – Korea Selatan).

Jawaban

Wa’alaikum salam wr wb. Sebelumnya kami ucapkan terima kasih kepada Mas Rijal yang telah berkenan bertanya kepada kami, NU Online. Doa terbaik untuk Mas Rijal semoga diberi kesehatan, kelancaran studi di Korea Selatan dan kembali dengan hasil terbaik, sehingga dapat bermanfaat untuk tanah air dan warga Nahdliyin khususnya.

Hidup di lingkungan yang mayoritas masyarakatnya Nonmuslim memang serba dilematis sebagaimana yang dialami Mas Rijal. Keadaan sebagaimana dialami Mas Rijal ternyata jauh sebelumnya juga pernah dialami oleh seorang sahabat Nabi bernama Abu Tsa’labah Al-Khusyani sehingga ia bertanya kepada Nabi saw:

روى أبو ثعلبة الخشني، قال: قلت: يا رسول الله إنا بأرض أهل الكتاب ونأكل في آنيتهم فقال: لا تأكلوا في آنيتهم إلا إن لم تجدوا عنها بدًا فاغسلوها بالماء ثم كلوا فيها

Artinya, “Abu Tsa’labah Al-Khusyani meriwayatkan, ia berkata, “Aku berkata: “Wahai Rasulullah, kami berada di tanah kaum Ahli Kitab dan kami makan menggunakan bejana mereka.” Rasulullah menjawab, “Janganlah kalian makan menggunakan bejana mereka kecuali jika kalian tidak menemukan yang lain, maka cucilah dengan air, lalu makanlah di dalamnya.”(HR Al-Bukhari dan Muslim).

Berdasarkan hadits di atas Imam Abu Ishaq As-Syirazi mengatakan makruh hukumnya menggunakan bejana (peralatan makan) dan pakaian orang-orang musyrik. Hal ini menurut beliau karena mereka tidak menghindari najis, sehingga menjadi makruh.

Selanjutnya beliau mencontohkan kasus wudhu seseorang menggunakan bejana nonmuslim:

فإن توضأ من أوانيهم نظرت فإن كانوا ممن لا يتدينون باستعمال النجاسة صح الوضوء لأن النبي ﷺ توضأ من مزادة مشركة وتوضأ عمر من جرة نصراني ولأن الأصل في أوانيهم الطهارة وإن كانوا ممن يتدينون باستعمال النجاسة ففيه وجهان: أحدهما: أنه يصح الوضوء لأن الأصل في أوانيهم الطهارة والثاني: لا يصح لأنهم يتدينون باستعمال النجاسة كما يتدين المسلمون بالماء الطاهر فالظاهر من أوانيهم وثيابهم النجاسة

Artinya, “Jika seseorang berwudhu dengan menggunakan bejana nonmuslim, maka dipertimbangkan; jika mereka tidak termasuk orang-orang yang menganut agama yang tidak memperbolehkan penggunaan najis, maka wudhunya sah, karena Nabi saw pernah berwudhu dari wadah seorang wanita musyrik, dan Umar pernah berwudhu dari kendi milik seorang Nasrani. Selain itu, hukum asal dari bejana mereka adalah suci.

Jika mereka termasuk orang-orang yang menganut agama yang memperbolehkan penggunaan najis, maka ada dua pendapat: Pertama, wudhunya tetap sah karena hukum asal dari bejana mereka adalah suci. Kedua, wudhunya tidak sah, karena mereka menganut agama yang memperbolehkan penggunaan najis sebagaimana kaum Muslimin meyakini penggunaan air yang suci. Maka, secara lahiriah bejana dan pakaian mereka adalah najis.”(Al-Muhaddzab, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: t.t],  juz I, halaman 31-32).

Penjelasan As-Syirazi di atas menegaskan kemakruhan menggunakan bejana milik nonmuslim dengan alasan mereka tidak menjauhi atau tidak memperdulikan soal najis. Kemudian, sekalipun mereka dalam beragama tidak memperdulikan najis, masih terdapat pendapat fiqih yang menyatakan kebolehan dan kesuciannya, karena melihat hukum asalnya bejana adalah suci. 

Lebih jelas Syekh Zainuddin Ahmad bin Abdul Aziz Al-Malibari menerangkan sebuah kaidah penting terkait masalah ini, yakni dua pendapat yang dikenal sebagai pendapat Al-Ashlu dan Ad-Dhahir.Menurut beliau, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat Al-Ashlu:

قاعدة مهمة: وهي أن ما أصله الطهارة وغلب على الظن تنجسه لغلبة النجاسة في مثله فيه قولان معروفان بقولي الأصل والظاهر أو الغالب أرجحهما أنه طاهر عملا بالأصل المتيقن لأنه أضبط من الغالب المختلف بالأحوال والأزمان وذلك كثياب خمار وحائض وصبيان وأواني متدينين بالنجاسة وورق يغلب نثره على نجس ولعاب صبي وجوخ اشتهر عمله بشحم الخنزير وجبن شامي اشتهر عمله بإنفحة الخنزير وقد جاءه صلى الله عليه وسلم جبنة من عندهم فأكل منها ولم يسأل عن ذلك ذكره شيخنا في شرح المنهاج

Artinya, “Sebuah kaidah penting: bahwa sesuatu yang asalnya suci tetapi diduga kuat terkena najis pada hal yang semisalnya, ada dua pendapat yang dikenal sebagai pendapat Al-Ashlu dan Ad-Dhahir atau ‘Al-Ghalib’. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yangmenyatakan bahwa benda tersebut tetap suci berdasarkan asal yang diyakini, karena hal itu lebih akurat dibandingkan dengan kebiasaan yang berbeda pada keadaan dan waktunya.

Contohnya seperti pakaian dan kerudung wanita yang sedang haid, pakaian anak-anak, peralatan makan pemeluk agama lain yang yang menganut agama yang memperbolehkan penggunaan najis, kertas yang sering berserakan di tempat najis, air liur anak-anak, kain wol yang terkenal dibuat dengan lemak babi, dan keju Syam yang terkenal dibuat (infihah) dari babi. Rasulullah saw pernah diberi keju Syam dan beliau memakannya tanpa bertanya tentang hal itu. Ini disebutkan oleh guru kami dalam Syarhul Minhaj.”(Fathul Mu’in, [Beirut, Darul Ibnu Hazm: tt], halaman 83). 

Dengan penjelasan panjang di atas dapat kami sarankan, untuk Mas Rijal bahwa sikap kehati-hatian (ihtiyat)memang sikap yang baik. Namun jika berlebihan maka akan menjadi was-was, dan ini tidak baik.

Kemudian yang harus dilakukan oleh Mas Rijal adalah mengikuti pendapat Al-Ashlu yang menyatakan bahwa asalnya segala sesuatu adalah suci, kecuali secara yakin dengan melihat atau nyata-nyata mengetahui suatu benda terkena najis. Tidak cukup dalam menentukan najisnya sesuatu dengan dugaan kuat semata. Dengan demikian Mas Rijal tidak perlu berpindah mazhab untuk menyikapi masalah ini.

Demikian yang dapat kami sampaikan semoga dapat dipahami dengan baik dan bermanfaat. Wallahu a’lam.

Ustadz Muhamad Hanif Rahman, Dosen Ma’had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo



Source link