Di sebuah kafe mewah di tengah hiruk pikuk Grand Indonesia, Jakarta, suasana tampak tenang ketika Jessica Kumala Wongso tiba lebih awal dari teman-temannya pada sore yang naas itu, 6 Januari 2016. Jessica, yang terlihat tenang dan santai, memesan tiga minuman: satu kopi es Vietnam untuk Wayan Mirna Salihin, dan dua minuman lainnya untuk dirinya dan seorang teman lain.
Tak lama kemudian, Mirna dan Hani tiba di kafe, disambut dengan senyum hangat oleh Jessica. Dalam beberapa menit, keceriaan pertemuan itu berubah menjadi mimpi buruk ketika Mirna, yang baru saja meneguk kopi yang dipesankan Jessica, tiba-tiba mengalami kejang-kejang dan jatuh tak sadarkan diri.
Kepanikan melanda kafe tersebut, dan Mirna segera dibawa ke rumah sakit, namun nyawanya tak terselamatkan. Uji toksikologi kemudian mengungkapkan bahwa kopi Mirna mengandung sianida, racun mematikan yang membuat insiden ini menjadi misteri penuh teka-teki.
Kasus kopi sianida ini dengan cepat menjadi sorotan nasional, menarik perhatian publik dan media dengan berbagai spekulasi dan teori konspirasi. Persidangan Jessica Wongso berlangsung selama berbulan-bulan, menghadirkan berbagai saksi dan ahli yang memperdebatkan setiap detail kecil dari peristiwa hari itu.
Rekaman CCTV menunjukkan Jessica duduk sendirian, memesan kopi jauh sebelum Mirna tiba, dan perilakunya yang dianggap mencurigakan oleh beberapa saksi menjadi salah satu bukti utama yang memberatkan. Namun, di tengah semua itu, ketidakpastian terus menggelayuti proses hukum.
Apakah Jessica benar-benar pelaku pembunuhan berencana, atau hanya korban dari rangkaian kebetulan yang tragis? Ketegangan dan perdebatan di ruang sidang menciptakan atmosfer tegang yang menggambarkan kompleksitas dari hukum, bukti, dan kebenaran di balik tragedi ini.
Kasus ‘Kopi Sianida’ yang melibatkan Jessica Kumala Wongso sebagai tersangka kembali mencuat setelah Netflix merilis dokumenter peristiwa tersebut tahun lalu. Dokumenter tersebut berjudul “Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso.”(Netflix).
Adagium “In Dubio Pro Reo” dalam Konteks Kasus Kopi Sianida
Penulis sendiri setelah menonton dokumenter tersebut terbawa pada dugaan jangan-jangan Jessica Wongso tidak benar-benar bersalah. Entah, apakah asumsi tersebut lahir karena ketidakpahaman penulis terhadap hukum, atau hanya terbawa suasana saja.
Selain penulis, banyak juga penonton yang ternyata mengasumsikan hal yang sama, bahwa Jessica tidak benar-benar bersalah dalam kasus tersebut.
Tampaknya asumsi tersebut ‘dikabulkan’ oleh realita hukum. Beberapa hari lalu, Jessica menjalankan pembebasan bersyarat atau bebas bersyarat sejak Ahad, 18 Agustus 2024. Pembebasan bersyarat Jessica telah dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.
Keputusan tersebut didasarkan pada Undang-Undang Pemasyarakatan dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 7 Tahun 2022, yang merupakan perubahan kedua atas Permenkumham Nomor 3 Tahun 2018 tentang syarat dan tata cara pemberian remisi, asimilasi, cuti mengunjungi keluarga, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat. (metro.tempo.co).
Setelah pembebasan Jessica Kumala Wongso, lantas terbersit apakah ada keraguan atau alat bukti yang kurang pada saat persidangan, atau adanya bukti baru yang memperkuat keraguan bahwa Jessica merupakan tersangka pada kasus tersebut dengan asas adagium in dubio pro reo?
Makna dan Asal Usul Adagium “In Dubio Pro Reo”
Mengutip Wahyu Risaldi, dkk dalam artikel mereka, istilah in dubio pro reo pertama kali muncul dalam sistem hukum Romawi melalui karya Egidio Bossi pada tahun 1566. Prinsip ini didasarkan pada konsep presumption of innocenceatau praduga tak bersalah, di mana jika terdapat lebih dari satu interpretasi hukum, maka interpretasi yang menguntungkan terdakwa harus dipilih.
Menurut kamus hukum, frasa in dubio proreo berarti “Jika ada keraguan mengenai suatu hal, keputusan harus diambil yang menguntungkan terdakwa.” Seiring perkembangan sistem hukum selama berabad-abad, pada tahun 1784 di salah satu pengadilan pidana di Inggris, seorang terdakwa bernama Richard Corbett diadili atas tuduhan pembakaran properti milik orang lain.
Setelah proses persidangan dan evaluasi bukti-bukti yang diajukan, hakim memberikan instruksi kepada juri bahwa jika ada keraguan yang masuk akal, keraguan tersebut harus digunakan untuk kepentingan terdakwa. Instruksi semacam ini juga dikenal dalam sistem hukum Amerika modern, di mana terdakwa dinyatakan tidak bersalah jika jaksa penuntut gagal membuktikan kesalahannya tanpa adanya keraguan. (Wahyu Risaldi, dkk, “Penerapan Asas In Dubio Pro Natura dan In Dubio Pro Reo oleh Hakim Perkara Lingkungan Hidup,” [Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 2018], halaman 552).
Asas In Dubio Pro Reo dalam Hukum Indonesia
Asas in dubio pro reo berkaitan erat dengan prinsip praduga tak bersalah yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Sebagai implikasi dari sistem pembuktian yang dianut dalam hukum kita dan asas praduga tak bersalah, terdapat dua faktor utama yang harus dipertimbangkan: bukti yang sah dan keyakinan hakim. Asas ini tercermin dalam pertimbangan hakim pada putusan No. 33 K/MIL/2009 yang menyatakan:
“Bahwa berdasarkan hukum pidana materiil, suatu tindak pidana dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan apabila perbuatan tersebut telah memenuhi seluruh unsur tindak pidana yang didakwakan. Bilamana salah satu unsur saja tidak terbukti, maka Pemohon Kasasi harus dibebaskan dari dakwaan. Begitu pula ada asas In Dubio Pro Reo yang menyatakan jika terjadi keragu-raguan apakah Terdakwa salah atau tidak maka sebaiknya diberikan hal yang menguntungkan bagi Terdakwa yaitu dibebaskan dari dakwaan.”
Pasal 182 ayat (6) KUHAP mencakup prinsip in dubio pro reo, yang menyatakan bahwa jika Majelis Hakim tidak mencapai kesepakatan, putusan harus menguntungkan terdakwa. Keputusan mengenai bersalah atau tidaknya seseorang harus dibuat tanpa keraguan (Beyond Reasonable Doubt). Farisreyhan Zachary Pohan, Penerapan Asas In Dubio Pro Reo dalam Sistem Pembuktian di Indonesia, Amerika Serikat, dan Perancis (Studi Kasus Putusan Nomor 34/PID.SUS/2019/PN. BPP.)[Skripsi Fakultas Hukum UI, 2021], halaman 24).
Jika ada keraguan, terdakwa berhak mendapat manfaat dari keraguannya, meskipun terdapat bukti yang mendukung tuduhan. “Beyond Reasonable Doubt”sendiri adalah prinsip penting dalam hukum pidana yang memastikan bahwa penghukuman hanya terjadi jika terdapat keyakinan penuh yang didukung oleh bukti yang kuat, sehingga sistem peradilan dapat melindungi hak-hak individu.
Konsep in dubio pro reo, yang pertama kali muncul dalam sistem hukum Romawi pada abad ke-16, telah berkembang dan diadaptasi secara luas di berbagai sistem hukum di seluruh dunia. Prinsip ini menyebar dan diadopsi oleh berbagai sistem hukum.
Prinsip In Dubio Pro Reo dalam Konteks Hukum Islam
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep ini juga ditemukan dalam konteks hukum Islam. Dalam dunia Islam, prinsip ini dapat dilihat sejalan dengan ajaran Al-Qur’an dan hadits yang menekankan keadilan, terutama dalam penegakan hukum pidana.
Prinsip ini mencerminkan kehati-hatian dan keadilan dalam menghukum seseorang, sejalan dengan kaidah ‘Al-ashlu bara’atud dzimmah’yang berarti asas awalnya adalah bebas dari tanggungan atau praduga tidak bersalah”.
Hukum Islam menegaskan bahwa dalam hal keraguan, pengampunan lebih baik daripada menghukum yang salah. Prinsip in dubio pro reo iniditemukan juga dalam beberapa aspek hukum pidana Islam untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil oleh hakim didasarkan pada keyakinan yang kuat dan bukti yang jelas, serta menghindari risiko kesalahan dalam menjatuhkan hukuman.
Bukti Kuat, Bukan Asumsi: Perspektif Hadits
Pada suatu hari di bulan Sya’ban tahun 9 hijriah, setelah pulang dari perang Tabuk, Al-‘Ajlani datang kepada Rasulullah saw dengan hati yang penuh kegundahan. Dia merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan pernikahannya.
Istrinya hamil, namun bukan hasil dari hubungan mereka berdua. Tampak ada perselingkuhan yang terjadi. (Ibnul Atsir, Usdul Ghabah, [Beirut: Darul Fikr, 1989], jilid I, halaman 30).
Rasulullah saw memahami situasi ini dengan serius. Dalam Islam, jika ada tuduhan semacam ini tanpa bukti yang jelas, hukumnya sangat berat. Karena itu, beliau memutuskan untuk melakukan proses li’an, yaitu sumpah saling melaknat antara suami dan istri.
Dalam proses ini, masing-masing pihak bersumpah di hadapan Allah untuk menegaskan kebenaran pernyataan mereka. Jika salah satu pihak berbohong, maka mereka memohon agar laknat Allah jatuh pada diri mereka.
Masjid Nabawi menjadi saksi peristiwa tersebut. Setelah shalat Ashar, proses li’andilaksanakan. Dengan penuh keyakinan, Al-‘Ajlani menjelaskan bahwa istrinya sedang hamil, kemudian ia bersumpah, “Demi Allah, aku tidak pernah mendekatinya sejak kami ‘mengalirkan air pada pohon kurma.”
Ungkapan ‘mengalirkan air pada pohon kurma’ adalah ungkapan metafora dalam bahasa Arab. Artinya adalah menyirami pohon kurma setelah dua bulan tidak disirami setelah proses penyerbukan. Pernyataan ini menyiratkan bahwa sudah cukup lama ia tidak berhubungan intim dengan istrinya.
Sementara itu, orang yang dituduh berzina dengan istrinya adalah seorang laki-laki bernama Ibnus Sahma’. Ketika tiba waktu persalinan, wanita itu melahirkan seorang anak laki-laki. Yang menarik adalah, bayi itu lahir dengan ciri fisik yang sangat berbeda dari suami sahnya. Anak itu berkulit hitam, berambut keriting, dengan lengan yang kuat, sangat kontras dengan fisik Al-‘Ajlani.
Al-‘Ajlani sendiri dikenal sebagai ‘Uwaimir Al-‘Ajlani. Dia merupakan sosok sahabat yang menjadi tokoh penyebab turunnya ayat li’an.(Abu Nu’aim al-Ashbihani, Ma’rifatush Shahabah, [Riyadh: Darul Wathan, 1998], jilid IV, halaman 2106).
Melihat kejadian ini, beberapa sahabat menjadi penasaran. Ibnu Syaddad bin Al-Had bertanya kepada Ibnu ‘Abbas, “Apakah wanita ini adalah orang yang disebut oleh Nabi saw ketika beliau bersabda, ‘Seandainya aku dapat merajam tanpa bukti, aku pasti telah merajamnya?’”
Ibnu Abbas menjawab, “Bukan, dalam konteks itu Rasulullah membicarakan wanita lain yang telah menunjukkan keburukan secara terbuka dalam Islam.”
Adapun wanita lain yang dimaksud memang tidak diketahui secara pasti profilnya, akan tetapi sikap yang tercermin dalam sabda Nabi saw, “Seandainya aku dapat merajam tanpa bukti, aku pasti telah merajamnya!”, menunjukkan bahwa penegakkan hukum tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya bukti yang kuat, meski asumsi publik sangat kuat bahwa orang tersebut bersalah.
Terlebih lagi, wanita lain yang dibicarakan Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Syaddad dideskripsikan dengan “a’lanat”, yang artinya adalah terang-terangan dalam melacur dan tidak sembunyi-sembunyi. Hanya saja karena tidak ada dasar bukti yang kuat, penegakkan hukum tidak dapat dilakukan oleh Nabi saw, dan hal itu cukup membuat beliau risau.
Kisah di atas tertera di beberapa kitab hadits induk, seperti Shahih Muslim, Sunan Ibni Majah dan Musnad Ahmad. Berikut salah satu riwayatnya:
عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ شَدَّادٍ وَذُكِرَ الْمُتَلاَعِنَانِ عِنْدَ ابْنِ عَبَّاسٍ فَقَالَ ابْنُ شَدَّادٍ أَهُمَا اللَّذَانِ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- «لَوْ كُنْتُ رَاجِمًا أَحَدًا بِغَيْرِ بَيِّنَةٍ لَرَجَمْتُهَا». فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لاَ تِلْكَ امْرَأَةٌ أَعْلَنَتْ
Artinya, “Diriwayatkan dari Al-Qasim bin Muhammad, ia berkata, ‘Abdullah bin Syaddad menyebutkan tentang pasangan yang melakukan li’an (sumpah saling melaknat) di hadapan Ibnu ‘Abbas. Lalu Ibnu Syaddad bertanya, ‘Apakah mereka berdua yang dikatakan oleh Nabi, “Seandainya aku merajam seseorang tanpa bukti, aku pasti merajamnya?” Ibnu Abbas menjawab, “Bukan, itu adalah wanita lain yang melakukannya secara terang-terangan.”(HR Muslim, Shahih Muslim, [Beirut: Darul Jil, t.t.], jilid IV, halaman 210).
Berdasarkan hadits di atas, As-Syaukani menjelaskan bahwa penegakkan hukum tidak boleh didasarkan pada asumsi, namun harus dengan bukti yang kuat. Lebih detail ia memaparkan:
عَلَى أَنَّهُ لَا يَجِبُ الْحَدُّ بِالتُّهَمِ، وَلَا شَكَّ أَنَّ إقَامَةَ الْحَدِّ إضْرَارٌ بِمَنْ لَا يَجُوزُ الْإِضْرَارُ بِهِ وَهُوَ قَبِيحٌ عَقْلًا وَشَرْعًا فَلَا يَجُوزُ مِنْهُ إلَّا مَا أَجَازَهُ الشَّارِعُ كَالْحُدُودِ وَالْقِصَاصِ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ بَعْدَ حُصُولِ الْيَقِينِ؛ لِأَنَّ مُجَرَّدَ الْحَدْسِ وَالتُّهْمَةِ وَالشَّكِّ مَظِنَّةٌ لِلْخَطَإِ وَالْغَلَطِ، وَمَا كَانَ كَذَلِكَ فَلَا يُسْتَبَاحُ بِهِ تَأْلِيمُ الْمُسْلِمِ وَإِضْرَارُهُ بِلَا خِلَافٍ
Artinya, “[Berdasarkan hadits tersebut maka] tidak ada hukuman (hudud) yang harus dijatuhkan hanya berdasarkan tuduhan. Tidak diragukan lagi bahwa menjatuhkan hukuman adalah tindakan merugikan seseorang yang pada asasnya tidak boleh dirugikan, dan sudah tentu perbuatan ‘menghukum berdasarkan tuduhan’ ini tercela baik secara akal maupun syariat.
Karena itu, hukuman seperti hudud, qisas, dan hal-hal semacamnya tidak boleh dijatuhkan kecuali sesuai dengan ketentuan yang diperbolehkan oleh syariat, yaitu setelah adanya keyakinan (bukti yang pasti).
Sebab, menghukumi dengan sekadar dugaan, tuduhan, dan keraguan saja adalah sumber kesalahan dan kekeliruan. Hal-hal semacam itu tidak boleh dijadikan dasar untuk menyakiti dan merugikan seorang Muslim. Tidak ada yang berbeda pendapat soal ini.” (As-Syaukani, Nailul Authar, [Mesir: Darul Hadits, 1993], jilid VII, halaman 125).
In Dubio Pro Reo versi Islam, apakah ada?
Islam sendiri memiliki konsep yang serupa dengan adagium hukum ‘in dubio pro reo.’Bunyinya seperti ini, “Hakim yang salah membebaskan lebih baik daripada salah menghukum.” Kesalahan tersebut merupakan implikasi dari keraguan dan kerancuan bukti.
Adagium tersebut tertera dalam sebuah atsar, ada yang menyebutnya bersumber dari Nabi saw, ada juga yang menisbatkannya kepada para sahabat ‘Umar, ‘Uqbah bin ‘Amir dan Mu’adz bin Jabal secara mauquf (tidak bersambung kepada Nabi, namun bersambung kepada sahabat). (As-Suyuthi, Al-Luma’ fi Asbabi Wurudil Hadits, [Beirut: Darul Fikr, 1996], jilid I, halaman 123).
Berikut riwayat terkait adagium tersebut yang bersumber dari Al-Baihaqi dan Ad-Daraquthni:
عن عائشَةَ قالَت: قال رسولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ادرَءوا الحُدودَ عن المُسلِمينَ ما استَطَعتُم، فإن وجَدتُم لِلمُسلِمِ مَخرَجًا فخَلُّوا سَبيلَه؛ فإِنَّ الإمامَ أن يُخطِئَ في العَفوِ خَيرٌ له مِن أن يُخطِئَ في العُقوبَةِ
Artinya, “Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, ‘Hindarilah hukuman hudud dari kaum Muslimin sejauh yang kalian mampu. Jika kalian menemukan jalan keluar bagi seorang Muslim, maka bebaskanlah dia. Sesungguhnya seorang imam lebih baik membuat kesalahan dalam memberikan ampunan daripada membuat kesalahan dalam memberikan hukuman’.”(As-Sunanul Kubra, [Mesir: Markaz Hajar Lil Buhuts wa Dirasat Al-Arabiyah wal Islamiyah, 2011], jilid XVII, halaman 233 dan Sunanud Daraquthni, [Beirut: Darul Ma’rifah, 1966], jilid III, halaman 84).
Hadits di atas menurut Al-Baghawi diriwayatkan oleh Muhammad bin Rabi’ah dari Yazid bin Ziyad, dan diriwayatkan pula oleh Waki’ dari Yazid bin Ziyad tanpa bersambung kepada Nabi, dan jalur Waki’ yang tidak bersambung itu tampak lebih shahih. Yazid bin Ziyad Ad-Dimasyqi periwayatannya lemah. (Syarhus Sunnah, [Damaskus: Al-Maktab al-Islami, 1983], jilid X, halaman 331).
Yazid bin Ziyad ad-Dimasyqi sendiri wafat antara 161 – 170 H. Yazid dinilai Munkarul Hadits oleh Al-Bukhari. Sedangkan At-Tirmidzi menyebutnya dha’if (lemah dalam periwayatan) dan An-Nasa’i menyebutnya ‘matruk’(hadits-haditsnya tidak dianggap). (Ad-Dzahabi, Tarikhul Islam, [Beirut: Darul Gharbil Islami, 2003], jilid VI, halaman 546).
At-Tirmidzi juga meragukan sabda di atas bersumber dari Rasulullah saw, meskipun ia memasukkannya dalam Sunanut Tirmidzidan mengatakan jalur periwayatan Waki’ dari Yazid bin Ziyad tanpa bersambung kepada Nabi tampak lebih shahih. (At-Tirmidzi, Sunanut Tirmidzi, [Beirut: Darul Gharbil Islami, 1998], jilid III, halaman 85).
Paparan Al-Baghawi dan At-Tirmidzi secara gamblang menjelaskan bahwa adagium di atas tidak begitu tepat jika disandarkan kepada Rasulullah, karena keotentikan hadits-haditsnya dipertanyakan. Ada riwayat yang shahih, hanya saja tidak bersambung kepada Nabi.
Terkait penjelasan haditsnya, Al-Munawi berpendapat bahwa frasa ‘lebih baik’ pada hadits tersebut bukan dalam arti yang sebenarnya. Alasannya, tidak ada kebaikan dalam kesalahan keputusan peradilan. Baik salah membebaskan atau salah menjatuhkan hukuman, keduanya pada dasarnya sama-sama salah dan tidak baik.
Namun, hadits ini menegur para hakim untuk tidak terburu-buru dalam memutuskan hukum, terlebih ketika terdapat keraguan. Selain itu, tentu saja hadits ini tidak berlaku untuk orang yang terang-terangan melakukan kejahatan dan buktinya telah diketahui. (Al-Munawi, Faidhul Qadir, [Mesir: al-Maktabah at-Tijariyyah, 1356], jilid I, halaman 226).
Senada dengan Al-Munawi, As-Shan’ani menjelaskan dengan hati-hati;
“Kesalahan dalam memaafkan merujuk pada situasi di mana seorang penguasa tidak memberikan hukuman kepada orang yang seharusnya dihukum. Namun, ini bukan berarti membebaskan seseorang dari hukuman jika ada bukti yang jelas dan kuat yang mengharuskan hukuman tersebut.”
Lebih lanjut lagi menurut As-Shan’ani, bahwa jika ada keraguan atau syubhatterkait dengan pelaksanaan hukuman hudud, maka hukuman tersebut harus dihindari. Perintah ini ditujukan kepada pemerintah, meskipun juga bisa ditujukan kepada umat Islam secara umum. (At-Tanwir Syarhul Jami’s Saghir, [Riyadh: Maktabah Darus Salam, 2011] jilid I, halaman 470).
Dari hadits ke kaidah fiqih
Meskipun hadits di atas diragukan keshahihannya dari Rasulullah, namun adanya teks lebih disukai oleh sebagian fuqahaketimbang menggunakan independensi akal secara murni. Walhasil, hadits tersebut dijadikan landasan pada suatu kaidah fiqih:
الحدود تسقط بالشبهات
Artinya, “Keputusan hudud dapat gugur dengan adanya syubhat (Keraguan).” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nazhair, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.], jilid I, halaman 122).
Menurut Syekh Wahbah Az-Zuhaili, kaidah di atas digunakan di beberapa mazhab, seperti mazhab Syafi’i dan Maliki. Selain itu, kaidah ini memiliki kaidah pendukung dengan maksud yang hampir serupa, yaitu:
الأصل في الذمة البراءة
Artinya, “Asal dalam tanggungan (dzimmah) adalah kebebasan dari tanggungan (tidak bersalah).”
Maksud dari kaidah di atas, terdakwa baru dapat dijatuhi hukuman setelah ditemukan bukti yang meyakinkan, sebab manusia diciptakan dalam keadaan bebas dari tanggungan (tidak bersalah). Jika ada keraguan tentang apakah terdakwa bersalah atau tidak, maka yang lebih diutamakan adalah bersandar pada yang sudah pasti dan jelas, alih-alih mendakwa dengan dasar dugaan atau keraguan.
Jika jelas buktinya, maka sudah tentu akan diberi hukuman. Adapun jika belum jelas, masih ada keraguan, atau bukti yang tidak memadai, maka terdakwa tidak dapat dijatuhi hukuman. Beberapa contoh atas kaidah tersebut adalah:
- Jika seseorang mengaku melakukan kejahatan dan dijatuhi hukuman hudud, kemudian menarik kembali pengakuannya, maka ada kemungkinan dia jujur dalam menarik kembali pengakuannya. Oleh karena itu, hukuman hudud bisa dibatalkan karena adanya syubhat ini.
- Jika para saksi bersaksi terhadap seseorang atas kejahatan yang mengharuskan hukuman hudud, kemudian mereka menarik kembali kesaksian mereka, atau sebagian dari mereka menarik kesaksian sehingga jumlah saksi kurang dari syarat minimal, maka penarikan kesaksian mereka dianggap sebagai syubhat yang menyebabkan pembatalan hukuman hudud atas terdakwa, dengan kemungkinan bahwa mereka jujur dalam penarikan tersebut.
Kedua contoh di atas sudah umum digunakan dalam sistem peradilan, terlepas dari jenis hukum yang diterapkan oleh suatu negara. (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah wa Tathbiquha fil Mazahib al-Arba’ah, [Damaskus: Darul Fikr, 2006], jilid I, halaman 660).
Demikianlah ulasan adagium ‘In dubio pro reo’ dan kaitannya dengan hadits dan hukum Islam. Penulis hingga saat ini belum mengetahui, apakah Islam mengakomodasi adagium Romawi tersebut secara adaptif, atau nalar teks para sahabat kala itu selaras tanpa bertautan dengan adagium. Wallahu a’lam.
Ustadz Amien Nurhakim, Redaktur NU Online dan Dosen Universitas PTIQ Jakarta