Sebagaimana diketahui, dari sebuah perkawinan lahir empat baris mahram muabbad atau mahram permanen. Konsekuensinya adalah haram dinikahi selamanya dan tidak batal wudhu jika bersentuhan kulit.
Keempat baris mahram tersebut, jika dilihat dari perspektif diri kita sebagai laki-laki, ialah ibu mertua, ibu tiri, menantu perempuan, dan anak tiri perempuan. Hal itu berdasarkan ayat Al-Quran berikut ini:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ ……وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ
Artinya, “(Dan diharamkan atas kamu)….. ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu) dari tulang rusuk kalian,” (QS. an-Nisa’ [4]: 23).
Sementara status mahram ibu tiri didasarkan pada ayat berikut:
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ
Artinya, “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau,” (QS. an-Nisa’ [4]: 22).
Dalam ayat pertama dijelaskan bahwa akad pernikahan yang sah langsung menetapkan status mahram kecuali anak tiri perempuan. Anak tiri perempuan menjadi mahram setelah terjadi hubungan badan antara laki-laki yang menikahi ibunya dengan ibunya tersebut sebagaimana petikan berikut:
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
Artinya, “…anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya.”
Berdasarkan ayat ini pula, para ulama memutuskan bahwa ibu mertua, ibu tiri, dan menantu perempuan bisa langsung menjadi mahram. Sementara anak tiri perempuan menunggu hingga pergaulan suami-istri (jimak) dengan ibunya. Demikian seperti yang dikemukakan ulama mazhab Syafi’i, yaitu Syekh Ibrahim al-Bajuri dalam Hasyiyah al-Bajuri, jilid II, halaman 113:
فالعقد على البنات يحرم الأمهات وأما البنات فلا تحرم إلا بالدخول على الأمهات
Artinya, “Akad nikah dengan anak perempuan langsung mengharamkan ibunya. Sementara anak perempuan (setelah akad) tidak langsung haram kecuali setelah bergaul dengan ibunya.”
Pertanyaannya mengapa mertua langsung menjadi mahram, sedangkan anak tiri menunggu gaul suami-istri dengan ibunya. Hal ini pernah dijawab oleh Syekh Abu Bakar ibn Muhammad al-Hishni.
Alasannya, karena seorang laki-laki yang sudah menikah biasanya dituntut untuk berinteraksi dengan ibu mertuanya walaupun baru selesai akad. Makanya seorang ibu mertua langsung dijadikan mahram dengan menantu laki-lakinya agar keduanya memungkinkan berkomunikasi lebih longgar. Lebih jelasnya lihat: kitab Kifayatul Akhyar, karya Syekh Abu Bakar ibn Muhammad al-Hishni, Jilid 1, hal. 364.
Dari uraian di atas dapat dirinci dan diperjelas sejak kapan keempat mahram permanen sebab pernikahan itu dimulai:
Pertama, bu mertua (ummuz-zaujah) sampai ke atas. Ini artinya, mencakup ibunya ibu mertua alias nenek mertua. Setelah akad berlangsung, baik sudah bergaul suami-istri atau belum, seorang laki-laki langsung menjadi mahram muabbad dari ibu mertuanya, baik ibu mertua karena nasab atau karena persusuan.
Artinya, sejak itu si laki-laki tersebut tidak batal wudhu dengan mertuanya dan haram menikah untuk selama-lamanya dengan mertuanya, baik saat menjadi mertua maupun sudah cerai dengan putrinya, dengan catatan akadnya sah, memenuhi syarat dan rukun.
Kedua, istri ayah (zaujatul ab) atau ibu tiri. Ibu tiri akan menjadi mahram serta tidak batal wudhu, baik sang ayah sudah berhubungan badan dengannya ataupun belum. Namun di sini ada perbedaan, seorang anak perempuan menjadi mahram bagi ayah tirinya setelah terjadi hubungan badan dengan ibunya.
Sedangkan seorang laki-laki menjadi mahram bagi ibu tirinya begitu akad berlangsung walaupun ayahnya belum berhubungan badan dengan ibu tirinya.
Ketiga, istri anak (zaujatul ibn) atau menantu. Menantu akan langsung menjadi mahram dan tidak batal wudhu setelah akad walau belum berhubungan badan. Baik itu menantu dari anak nasab maupun menantu dari anak persusuan. Sedangkan menantu dari anak angkat tidak termasuk, berdasarkan petikan ‘min aslabikum‘ dalam ayat di atas.
Keempat, anak dari istri (bintuz zaujah), ar-rabibah alias anak tiri. Baik itu anak tiri karena nasab maupun karena persusuan. Termasuk ke dalam baris ini adalah anak perempuan dari anak tiri. Anak perempuan ini lazim disebut juga dengan cucu tiri. Dan cucu tiri yang ini menjadi mahram karena lahir dari anak tiri yang sudah menjadi mahram.
Dengan catatan, anak tiri menjadi mahram setelah bergaul dengan ibunya. Sedangkan cucu tiri yang lahir dari menantu sebelum pernikahan, maka ia tidak menjadi mahram.
Walhasil, anak tiri menjadi mahram setelah si laki-laki yang menikahi ibunya bergaul suami-istri dengan ibunya tersebut. Sebaliknya, jika belum bergaul dengan ibunya, maka si laki-laki yang menikahi ibunya tersebut boleh menikahi anak tiri perempuannya selama tidak dalam waktu yang bersamaan.
Kaitan dengan mahram muabbad perkawinan ini kiranya juga perlu dijelaskan pihak-pihak yang sesungguhnya bukan mahram tetapi kerap dianggap sebagai mahram. Pihak-pihak tersebut adalah: (1) putri dari ayah tiri atau saudara tiri; (2) ibu dari ayah tiri; (3) putri menantu atau cucu tiri; (4) ibu dari menantu atau besan; (5) ibu dari ibu tiri; (6) putri dari ibu tiri atau saudara tiri; (7) ibu dari menantu atau besan; (8) putri dari menantu atau cucu tiri; (9) istri anak tiri atau menantu tiri; (10) istri lain dari ayah tiri (bukan ibu sendiri).
Demikian seperti yang dikutip dari kitab Raudhatut Thalibin, karya Imam Abu Zakariya Muhyiddin ibn Yahya ibn Syaraf an-Nawawi, Jilid 7, Hal. 112:
لَا تَحْرُمُ بِنْتُ زَوْجِ الْأُمِّ، وَلَا أُمُّهُ، وَلَا بِنْتُ زَوْجِ الْبِنْتِ، وَلَا أُمُّهُ، وَلَا أُمُّ زَوْجَةِ الْأَبِ، وَلَا بِنْتُهَا، وَلَا أُمُّ زَوْجَةِ الِابْنِ، وَلَا بِنْتُهَا، وَلَا زَوْجَةُ الرَّبِيبِ وَلَا زَوْجَةُ الرَّابِّ.
Artinya: Tidak haram (bagi seorang laki-laki) (1) putri dari suami ibunya, tidak pula (2) ibu dari suami ibunya, tidak pula (3) putri dari suami anak perempuannya, tidak pula (4) ibu dari suami anak perempuannya, tidak pula (5) ibu dari istri ayah, tidak pula (6) putri dari istri ayah, tidak pula (7) ibu dari istri anak, tidak pula (8) putri dari istri anak, tidak pula (9) istri dari anak tiri laki-lakinya, dan tidak pula (10) istri dari ayah tirinya.
Maksud tidak haram di atas adalah tidak menjadi mahram sehingga tetap batal wudhu dengannya dan boleh menikah selama tidak ada penghalang, seperti status mahram muaqqat, masa iddah, dan sebagainya. Wallahu a’lam.
Ustadz M. Tatam Wijaya, Penyuluh dan Petugas KUA Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.