Abad ke-3 hijriah dan beberapa abad berikutnya menjadi saksi kebangkitan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Tidak terkecuali, ilmu kedokteran yang dikembangkan oleh ilmuwan Muslim klasik pada abad-abad tersebut. Pada masa itu, ilmu-ilmu fiqih juga berkembang dengan pesat sehingga mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan alam yang diinovasikan oleh Ilmuwan Islam.
Sebagai ilmu yang dianggap penting, kedokteran pada masa Islam berusaha memberikan solusi untuk berbagai penyakit yang ada saat itu. Salah satu kajian penting di dalam ilmu kedokteran adalah ilmu anatomi yang mempelajari struktur tubuh manusia dari permukaan hingga organ-organ dalamnya. Saat ini, mahasiswa kedokteran di berbagai universitas menggunakan bantuan cadaveratau jenazah manusia yang diawetkan untuk dipelajari dalam praktikum anatomi.
Apakah cadaverberperan penting dalam perkembangan ilmu anatomi dan kedokteran? Bagaimana perkembangan ilmu anatomi dalam bidang kedokteran pada masa Islam membahas kemungkinan penggunaan cadaver? Bagaimana pula pandangan para ilmuwan kedokteran Muslim klasik terhadap penggunaan cadaver?
Pengembangan ilmu kedokteran di masa Islam didasarkan pada urgensi mengobati penyakit hingga menemukan bahan untuk obat penyakit itu. Oleh karena itu, ketika mengembangkan kedokteran Yunani sebagai pendahulunya, ilmuwan Muslim belum menganggap penggunaan cadaveratau jenazah sebagai suatu kedaruratan dalam menghadapi penyakit yang berkembang saat itu.
Salah satu tokoh penting yang mengembangkan bidang anatomi dan menggunakan alternatif hewan sebagai pengganti cadaverpada masa ini adalah Abu Bakar Muhammad bin Zakariya ar-Razi, atau yang disingkat dengan ar-Razi dan dunia barat mengenalnya dengan nama Rhazes.
Ar-Razi merupakan ulama yang multitalenta atau polymath. Selain ahli kimia dan farmasi, Ar-Razi terkenal sebagai dokter ahli pada masanya sekaligus ahli musik, matematika, filsafat, serta astronomi. Beliau mengembangkan kajian anatomi dengan pembedahan pada hewan coba yaitu kera (Dezfouli, 2021, Anatomy of Bones in Medical Writings in Islamic Period: A Comparative Study on Tib al-Maliki by Ahwazi and Canon of Avicenna, Medical History Journal, 12 (44): halaman 1).
Dokter Hassan Hathout mantan profesor dalam bidang kebidanan dan ginekologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Kuwait menyatakan bahwa ilmu anatomi dan fisiologi menjadi menonjol karena dari kedua ilmu inilah tanda-tanda kekuasaan Allah dalam menciptakan manusia dapat ditemukan. Namun, dia menyebutkan bahwa ilmu anatomi dibatasi hanya pada pembedahan tubuh kera saja karena hukum Islam menetapkan dengan pasti bahwa hak seseorang yang telah mati adalah dikuburkan dengan layak. Hathout berpandangan seperti itu dengan mendasarkan pada pengalaman Rhazes yang melakukan pembedahan pada kera ketika meneliti pengobatan untuk menyembuhkan manusia (Hathout, 1984, Topics in Islamic Medicine, Kuwait, International Organization of Islamic Medicine, edisi pertama: halaman 84).
Meskipun tidak ada bukti bahwa Ar-Razi menggunakan cadaver, tetapi anatomi dianggap sebuah ilmu penting yang harus diujikan kepada calon dokter. Dalam kitabnya yang berjudul Al-Hawi fit-Thibb, Ar-Razi memiliki pandangan jauh ke depan bahwa idealnya seorang calon dokter harus ditanya teori tentang anatomi dan fisiologi ketika proses uji kompetensinya (Tajik dan Hashemimehr, 2022, Rhazes’ View on Qualifications of Physicians, a Historical Review, Arch Iran Med, 25(7): halaman 473-479).
Ahli bedah Muslim terkenal lainnya, Az-Zahrawi, menekankan kebutuhan dan arti penting dari pengajaran ilmu anatomi dan pelatihan pembedahan, tetapi dalam bukunya, at-Tasrif, dia tidak menyebutkan apakah dia membedah tubuh manusia ataukah tidak. ‘Alauddin ‘Ali ibn Abi hazm al-Quraisy (606-686 H/1210-1288 M) yang populer dengan nama Ibn al-Nafis dan yang telah berjasa menemukan sirkulasi paru-paru (pulmonary circulation) memperjelas masalah ini dalam pendahuluan komentarnya atas karya Ibn Sina, Al-Qanun, yakni Syarah Al-Qanun, dengan mengatakan bahwa dia, karena alasan agama dan hati nurani, tidak pernah membedah tubuh manusia (Ebrahim, 2007, Fikih Kesehatan Kloning, Eutanasia, Transfusi Darah, Transplantasi Organ, dan Eksperimen pada Hewan, PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta: halaman 42-43).
Senada dengan Ar-Razi, dalam kitab Al-Qanun Ibnu Sina mengemukakan pandangan pentingnya mempelajari anatomi sebagai dasar ilmu kedokteran agar responsif terhadap perkembangan ilmu kedokteran secara umum maupun ilmu bedah. Saat itu, Ibnu Sina berpandangan bahwa murid kedokteran di tahap awal harus belajar tentang prinsip obat baik secara teoritis maupun praktis. Namun, pada tahap selanjutnya, kemampuan analisis calon dokter harus dikembangkan agar memahami proses terjadinya penyakit dengan lebih baik. Â Â
Meskipun tidak ada bukti juga bahwa Ibnu Sina menggunakan cadaver, tetapi secara tersirat Ibnu Sina mengungkapkan kebutuhan ilmu anatomi di masa depan untuk mengungkap pentingnya penelitian organ-organ manusia secara nyata seirama dengan perkembangan bidang kesehatan dan menganalisis penyakit agar hasilnya memuaskan (Mazengenya dan Bikha, 2018, Revisiting Avicenna’s (AD 980-1037) Anatomical Concepts of the Musculoskeletal and Peripheral Nervous Systems in the Canon of Medicine, Acta Med Hist Adriat, 16 (2): halaman 267-282).
Berdasarkan uraian tersebut, dokter Muslim klasik berusaha menghindari penggunaan cadaveruntuk keperluan ilmiah pada saat itu. Namun, peluang untuk mempelajari anatomi secara lebih detail disampaikan dalam banyak karya mereka agar ilmu kedokteran mampu menjawab tantangan zaman. Seiring dengan perkembangan zaman, pada abad ke-14 Masehi atau sekitar abad ke-7 Hijriah, negara-negara Eropa mengizinkan pembedahan jenazah manusia untuk pembelajaran kedokteran di rumah sakit.
Saat ini, perkembangan penyakit dan pengobatan dalam dunia kedokteran berlangsung sangat masif. Adanya penyakit-penyakit baru yang mengancam jiwa menuntut para dokter untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam mempelajari anatomi. Oleh karena itu, ada suatu waktu di mana keperluan terhadap cadavermenjadi sebuah kedaruratan untuk menyelamatkan jiwa manusia sebagaimana yang telah diprediksi oleh para ilmuwan kedokteran klasik.
Sebagai dokter Muslim, penggunaan cadaversaat pembelajaran di masa kini tidak terelakkan sehingga penting untuk memperhatikan kaidah-kaidah penghormatan terhadap jenazah ketika menggunakan cadaver. Perlakuan memuliakan cadaverberdasarkan tuntunan ulama sebagaimana yang dihasilkan oleh Keputusan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur Komisi Maudhu’iyyahdi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang tahun 2016 di antaranya adalah menempatkannya di lokasi yang terlindung dan bukan di keramaian, menjahit kembali bagian jenazah yang terbuka, mengembalikan organ pada tempatnya di tubuh cadaver, serta menguburkannya secara layak setelah tidak dipakai.Â
Semangat para dokter Muslim di masa klasik untuk memperhatikan aturan agama, termasuk dalam hal penggunaan cadaverhendaknya dijaga oleh penerusnya, yaitu para dokter dan calon dokter Muslim serta lembaga pendidikan kedokteran. Wallahu a’lam bis shawab.
Yuhansyah Nurfauzi, Apoteker dan Peneliti Farmasi