Istilah Ilmu Hadits sebenarnya bermakna umum, yakni segala disiplin ilmu yang berkaitan dengan hadits Rasulullah saw. Ilmu-ilmu tersebut terbagi menjadi dua kategori; riwayah dan dirayah.
Namun, istilah Ilmu Hadits lebih sering digunakan untuk kategori kedua, yakni ilmu hadits dirayah. Para ulama banyak memberi pengertian tentang ilmu hadits dirayah. Misalya Imam ‘Izzuddin bin Jama’ah mendefinisikan:
عِلْمٌ بِقَوَانِينَ يُعْرَفُ بِهَا أَحْوَالُ السَّنَدِ وَالْمَتْنِ
Artinya, “Ilmu tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui status sanad dan matan hadits.” (Jalaluddin As-Suyuthi, Tadribur Rawi, [Riyadh: Maktabah Al-Kautsar, 1994], jilid I, halaman 26).
Ilmu hadits dirayah juga sering disebut sebagai ilmu mushthalah hadits atau ilmu ushulul hadits. Ilmu ini disusun sebagai peranti untuk mengetahui mana hadits yang dapat diamalkan dan mana yang tidak.
Sebagaimana fan ilmu lain dalam rumpun keilmuan Islam, cikal-bakal ilmu hadits sudah ada sejak masa awal Islam, yaitu zaman sahabat. Ilmu ini semakin matang pada periode-periode selanjutnya. Dr. Nuruddin ‘Itr membagi perjalanan ilmu hadits menjadi lima fase, mulai dari cikal-bakal sampai terdokumentasikan secara sempurna. (Qawa’idun Naqdi fi ‘Ulumil Hadits, [Beirut: Darul Fikr, 2017], halaman 45-70).
Fase pertama: Lahirnya Ilmu Hadits
Fase ini berlangsung selama abad I hijriah. Sepeninggal Rasulullah saw, para sahabat sangat menyadari bahwa masa depan Islam ada di pundak mereka, dan kunci terjaganya agama ini adalah dengan ilmu.
Sedangkan sumber ilmu agama ini ada pada Al-Qur’an dan Hadits. Para sahabat sangat memahami betapa beratnya amanah tersebut, mereka sangat berhati-hati dalam memelihara dan menyebarkan ilmu.
Oleh karena itu, demi menjaga orisinalitas dan menghindari pemahaman pribadi yang subjektif terhadap hadits Rasulullah saw, para sahabat melakukan beberapa langkah dalam menyebarkan hadits, yaitu:
1. Meminimalisasi Riwayat
Jika kita jarang menemukan hadits yang sanadnya melalui jalur Khulafaur Rasyidun padahal merekalah orang terdekat Rasulullah, itu adalah salah satu bukti bahwa mayoritas sahabat sengaja meminimalisasi periwayatan hadits. Mereka takut melakukan kesalahan jika terlalu banyak meriwayatkan hadits, baik tidak sengaja menambahkan atau mengurangi lafal hadits.
2. Memastikan Riwayat Hadits
Sahabat Abu Bakar ra pernah didatangi seorang perempuan tua yang cucunya meninggal, ia bertanya apakah ia mendapatkan hak waris. Abu Bakar menjawab bahwa ia tidak pernah mendengar Rasulullah saw membicarakan hukum tersebut, lalu ia bertanya pada para sahabat yang lain. Mughirah pun menjawab, “Aku pernah melihat Rasulullah memberi ⅙ warisan pada seorang nenek (dari jalur ayah) yang cucunya meninggal.”
Abu Bakar tidak langsung menerima hadits tersebut, ia bertanya, “Apakah ada orang lain yang pernah mengetahui hal serupa sebagaimana disampaikan Mughirah?“
Kemudian, Muhammad bin Maslamah mengatakan ia mengetahui bahwa Rasulullah saw pernah memutuskan perkara tersebut sebagaimana yang disampaikan Mughirah.
Sahabat ‘Umar ra pun pernah melakukan hal serupa pada Abu Musa Al-Asy’ari. Hal tersebut dilakukan oleh Abu Bakar dan ‘Umar sebagai bentuk kehati-hatian, bukan sebagai bentuk kecurigaan pada sahabat lain. (Syamsuddin adz-Dzahabi, Tadzkiratul Huffazh,[Beirut: Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, 1998], jilid I, halaman 9-11).
3. Melakukan Kritik Matan
Suatu ketika, ‘Umar ra mendengar cerita dari Fathimah binti Qays, bahwa dulu saat ia ditalak tiga oleh suaminya, Rasulullah saw memutuskan bahwa suaminya tidak wajib memberi nafkah dengan menyediakan tempat tinggal selama masa ‘iddah.
Hanya saja, hadits yang dipaparkan oleh Fathimah binti Qays ditolak oleh ‘Umar karena bertentangan dengan keterangan dalam surah Ath-Thalaq ayat 1. ‘Umar berkata:
ما كنا لِنَدَعَ كتاب رَبنا وسنةَ نبينا -صلَّى الله عليه وسلم- لِقول امرأةٍ لا ندري أحفِظَتْ أم لا
Artinya, “Aku tidak akan meninggalkan Al-Qur’an dan sunnah nabi kita karena riwayat dari seorang wanita yang entah bagaimana hafalannya.” (Abu Dawud As-Sijistani, Sunan Abi Dawud, [Beirut: Darur Risalah, 2009], jilid III, halaman 600).
Di akhir masa Khulafaur Rasyidun, aliran-aliran bid’ah mulai bermunculan. Mereka kerap memalsu hadits untuk mendukung ajaran sesatnya. Maka sejak saat itu, sanad hadits menjadi penting. Imam Ibnu Sirin menceritakan:
لم يكونوا يسألون عن الإسناد، فلما وقعت الفتنة قالوا: سموا لنا رجالكم. فينظر إلى حديث أهل السنة فيأخذ حديثهم، وينظر إلى أهل البدع فلا يؤخذ حديثهم
Artinya, “Para sahabat dahulu tidak pernah menanyakan sanad hadits, lalu sejak terjadi kerusuhan, mereka mulai menanyakan ‘Siapa yang meriwayatkan hadits ini?’, lalu hadits yang diriwayatkan oleh Ahlussunnah dipakai, hadits yang diriwayatkan oleh ahli bid’ah tidak diterima.” (Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, [Beirut: Dar Thuqin Najah, 2011], jilid I, halaman 11).
Dengan demikian, lahirlah ilmu jarh wa ta’dil atau ilmu kritik perawi hadits. Pada masa awal beberapa sahabat mulai sedikit berbicara tentang rawi-rawi hadits, di antaranya Ibnu ‘Abbas ra, ‘Ubadah bin ash-Shamit ra, dan Anas bin Malik ra.
Fase kedua: Masa Penyempurnaan
Fase ini dimulai pada awal abad II hingga pertengahan abad III hijriah. Di rentang masa ini, kemampuan menghafal mulai menurun, sanad hadits juga semakin panjang, karena semakin jauh dari masa nubuwwah, semakin panjang sanad hadits, tentu semakin sulit dihafal.
Di samping itu, aliran-aliran bid’ah juga semakin banyak, faktor-faktor ini menyebabkan para ulama semakin menekuni ilmu jarh wa ta’dil. Beberapa tokoh jarh wa ta’dilyang tersohor di masa ini adalah Syu’ban bin Al-Hajjaj, Sufyan Ats-Tsauri, dan ‘Abdurrahman bin Mahdi.
Pada era tersebut, para ulama mulai merumuskan kaidah-kaidah ilmu hadits, dan melakukan perbandingan antar riwayat dan antar matan hadits, yang mana kerja intelektual ini memberikan sangat banyak faedah dalam ilmu hadits.
Dalam fase ini, ilmu hadits bisa dikatakan telah lengkap. Akan tetapi kaidah-kaidah dan ilmu-ilmu tersebut belum dituangkan dalam sebuah karya tulis secara utuh. Memang ada beberapa yang menuliskan beberapa bagian dari ilmu ini, seperti Asy-Syafi’i.
Asy-Syafi’i menulis tentang ilmu hadits shahih, hadits hasan, syarat perawi hadits, ilmu tentang perawi mudallis, dan syarat meriwayatkan hadits bil ma’na (periwayatan makna hadits). Beliau menuangkan paparannya dalam dua karya fenomenal; Al-Umm dan Ar-Risalah.
Fase ketiga: Masa Awal Pembukuan
Fase ini berlangsung hingga pertengahan abad IV hijriah. Periode ini disebut sebagai masa emas bagi perkembangan ilmu hadits secara umum, baik ilmu riwayah maupun dirayah. Untuk ilmu dirayah, semua cabang ilmunya sudah ditulis menjadi pembahasan tersendiri, seperti ilmu tentang hadits shahih, hadits mursal, ilmu tentang nama-nama rawi, dan seterusnya.
Beberapa tokoh di masa ini yang menulis ilmu hadits dirayah di antaranya adalah: Yahya bin Ma’in, ia menulis tentang biografi para rawi. Muhammad bin Sa’ad juga menulis tema sama. Ahmad bin Hanbal pun tidak ketinggalan menulis tema yang sama. Selain itu, beliau juga menulis tentang ‘illat hadits dan nasikh mansukh.
Tokoh yang cukup fenomenal ada ‘Ali Al-Madini. Ahli hadits yang menjadi guru Al-Bukhari ini dikabarkan menulis setiap cabang bidang ilmu hadits dirayah hingga mencapai 200 judul.
Kendati demikian, di masa tersebut belum ada yang mengumpulkan kaidah-kaidah dan batasan-batasan (dhawabith) ilmu dirayah dalam satu karya, selain “Al-‘Ilalush Shaghir” yang ditulis oleh At-Tirmidzi.
Fase keempat: Pembukuan Ilmu Secara Komprehensif
Pada fase yang berlangsung mulai pertengahan abad IV hingga awal abad VII hijriah ini, para ulama mulai menulis berbagai cabang bidang ilmu dirayah hadits dan menghimpunnya dalam satu kitab. Beberapa tokoh pada periode ini di antaranya adalah:
1. Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzi
Beliau tercatat sebagai ulama pertama yang berusaha menulis dengan cukup komprehensif dalam ilmu hadits melalui karyanya Al-Muhaddits Al-Fashil bainar Rawi wal Wa’i.
Meskipun ada beberapa bab yang luput dari catatan ulama yang wafat tahun 360 H ini, namun karya beliau menjadi kitab ilmu hadits paling lengkap pada masa itu. Inilah yang membuat nama beliau sering disebut sebagai orang pertama yang menulis ilmu hadits.(Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki, Al-Manhalul Lathif, [Beirut: Darul Hawi, 2019], halaman 34 dan Muhammad ‘Abdul ‘Aziz Al-Khauli, Tarikhu Fununil Haditsin Nabawi, [Beirut: Dar Ibn Katsir, 1986], halaman 281).
2. Abu ‘Abdillah Al-Hakim
Beliau menulis 52 macam cabang bidang ilmu dirayah dalam kitabnya yang berjudul Ma’rifatu ‘Ulumil Hadits, kitab ini terbilang sebagai kitab penting dalam ilmu hadits.
Namun sebagaimana lazimnya karya awal dalam sebuah cabang bidang ilmu, karya beliau ini masih perlu diedit dan disempurnakan (tahdzib), susunan bab pada kitab tersebut juga belum sesuai dengan susunan bab dalam ilmu hadits, juga ada beberapa bab yang belum beliau masukkan. (Ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhatun Nazhar, [Beirut: Dar Ibn Katsir, 2021], halaman 59).
3. Abu Bakr Al-Khathib Al-Baghdadi
Ulama yang wafat pada 463 H ini menulis segala macam cabang bidang ilmu hadits dan membahasnya dengan komprehensif. Namun beliau tidak mengumpulkan semua itu dalam satu kitab. Kitab-kitab beliau menjadi rujukan penting bagi ulama setelahnya. Tidak berlebihan jika Al-Hafizh Abu Bakr Ibnu Nuqthah mengatakan:
كل من أنصف علم أن المحدثين بعد الخطيب عيال على كتبه
Artinya, “Setiap orang yang berpikir dengan adil, niscaya akan paham bahwa para ahli hadits setelah Al-Khathib mendapat ilmu mereka dari karya-karyanya”.
Kitab-kitab Ilmu hadits yang ditulis pada periode ini memiliki ciri khas tersendiri, yaitu menukil pendapat-pendapat ahli hadits terdahulu beserta sanadnya, dan menyerahkan pemahaman atas pendapat tersebut pada masing-masing pembaca.
Hanya sedikit penjelasan yang diberikan oleh penulisnya. Kecuali kitab karya Al-Hakim, beliau memang bertujuan menjelaskan kaidah-kaidah ilmu hadits dalam karyanya.
Fase kelima: Matangnya Pembukuan Ilmu Hadits
Fase ini bisa dibilang fase terlama, karena berlangsung selama tiga abad, yakni mulai abad VII hingga abad X hijriah. Kitab ilmu hadits yang ditulis pada kurun ini sudah terhitung matang dari segi pembahasan dan penulisan.
Tentu para ulama di masa ini belajar dari karya-karya pendahulunya. Mereka meneliti apa saja yang kurang dan perlu disempurnakan dari karya-karya tersebut. Inilah alasan mengapa karya-karya di masa ini menjadi matang.
Al-Hafizh Ibnu Shalah melalui karya fenomenalnya; Ma’rifatu Anwa’i ‘Ulumil Hadits atau biasa disebut Muqaddimah Ibn Shalah menjadi tokoh paling menonjol pada periode ini.
Beliau menghimpun ilmu-ilmu yang tersebar di berbagai kitab ahli hadits terdahulu dan membahas semua cabang bidang ilmu dirayah hadits. Selain itu, ada beberapa keistimewaan dalam kitab beliau ini, yaitu:
- Kajian yang mendalam (istinbath) pada pendapat-pendapat ulama
- Membuat berbagai definisi dengan sangat brilian
- Memberi komentar berbobot terhadap pendapat-pendapat ulama.
Kitab ini menjadi perhatian utama para ahli hadits, sehingga banyak ulama yang meringkasnya, memberi syarah (penjelasan), dan menazamkannya. berikut ini adalah beberapa karya yang mengkaji kitab Ibnu Shalah:
- Al-Irsyad karya An-Nawawi, kitab ini adalah ringkasan dari kitab Ibnu Shalah.
- At-Taqyid wal Idhah karya Al-Hafizh Zainuddin Al-‘Iraqi, kitab ini adalah syarah atas kitab Ibnu Shalah.
- Alfiyyah Al-‘Iraqi karya Zainuddin Al-‘Iraqi, kitab ini menazamkan kitab Ibnu Shalah.
Selain Ibnu Shalah, tokoh paling menonjol di masa ini adalah Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani. Beliau menyusun karyanya yang berjudul Nukhbatul Fikar, kemudian menulis penjelasannya (syarh) dan memberi nama atas karyanya dengan sebutan Nuzhatun Nazhar.
Sesuatu yang membuat karya Ibnu Hajar menjadi fenomenal adalah susunan penulisannya. Beliau menyusun kerangka bab yang lebih sistematis, di saat para ulama lainnya mengikuti kerangka yang ada pada kitab Ibnu Shalah.
Demikian sejarah kodifikasi ilmu hadits yang penulis ringkas dari Manhajun Naqdi fi ‘Ulumil Hadits karya Dr. Nuruddin ‘Itr dan beberapa sumber lain. Semoga bermanfaat bagi para pembaca. Wallahu a’lam.
Ustadz Rif’an Haqiqi, Pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyyah, Berjan, Purworejo