Diskriminasi terhadap sesama manusia merupakan perilaku tercela yang tidak boleh dilestarikan. Tindakan ini tidak hanya merugikan korban, tetapi juga berdampak buruk bagi pelakunya. Perlakuan semacam ini dapat mencoreng hak kemanusiaan yang dinilai luhur.

Terdapat kisah menarik di balik keagungan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia. Dalam Surat ‘Abasa ayat 1-6, dijelaskan bahwa tindakan diskriminasi pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, yang kemudian mendapatkan teguran dari Allah SWT. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan tersebut tidak boleh dilakukan terhadap sesama.

Berikut teks, terjemahan dan tafsiran Surat ‘Abasa ayat 1-6:

عَبَسَ وَتَوَلّٰىٓۙ ١ اَنْ جَاۤءَهُ الْاَعْمٰىۗ ٢ وَمَا يُدْرِيْكَ لَعَلَّهٗ يَزَّكّٰىٓۙ ٣ اَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرٰىۗ ٤ اَمَّا مَنِ اسْتَغْنٰىۙ ٥ فَاَنْتَ لَهٗ تَصَدّٰىۗ ٦

‘abasa wa tawallâ, an jâ’ahul-a‘mâ, wa mâ yudrîka la‘allahû yazzakkâ, au yadzdzakkaru fa tanfa‘ahudz-dzikrâ, ammâ manistaghnâ, fa anta lahû tashaddâ

Artinya: “Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling, karena seorang tunanetra telah datang kepadanya. Tahukah engkau (Muhammad) boleh jadi dia ingin menyucikan dirinya atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran sehingga pengajaran itu bermanfaat baginya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (para pembesar Quraisy), engkau memberi perhatian kepadanya.” (QS. ‘Abasa [80]: 1-6)

Ragam Tafsir

Menurut Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, banyak ahli tafsir menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW suatu hari berbincang dengan para pembesar suku Quraisy dan sangat berharap mereka masuk Islam.

Di tengah perbincangan, Ibnu Ummi Maktum, seorang tunanetra yang telah lama masuk Islam, datang kepada Rasulullah SAW untuk bertanya tentang suatu masalah penting. Namun, Rasulullah ingin Ibnu Ummi Maktum tidak mengganggu urusannya dengan pembesar Quraisy yang sangat beliau harapkan mendapat hidayah.

Karena itu, Nabi SAW memasang wajah masam dan memalingkan perhatiannya dari Ibnu Ummi Maktum dan melanjutkan perbincangannya. Lantas turunlah surat ‘Abasa Ayat 1-3 (‘abasa wa tawallâ, an jâ’ahul-a‘mâ, wa mâ yudrîka la‘allahû yazzakkâ). Menurut Ibnu Katsir, ayat ini menunjukkan pengharapan orang tunanetra tersebut untuk bersih dan suci dari segala dosa.

(أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرى) أَيْ يَحْصُلُ لَهُ اتِّعَاظٌ وَانْزِجَارٌ عَنِ الْمَحَارِمِ، (أَمَّا مَنِ اسْتَغْنى، فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّى) أَيْ أَمَّا الْغَنِيُّ فَأَنْتَ تَتَعَرَّضُ لَهُ لَعَلَّهُ يَهْتَدِي

Artinya: “(au yadzdzakkaru fa tanfa‘ahudz-dzikrâ), yaitu Ibnu Ummi Maktum akan memperoleh nasehat dan peringatan terhadap hal-hal yang haram (terlarang). (ammâ manistaghnâ, fa anta lahû tashaddâ) maksudnya adalah adapun terhadap orang yang berkecukupan, Nabi Muhammad justru terbuka dan berharap supaya segera mendapat hidayah.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1998] juz VIII, hal. 320)

Sedangkan menurut Al-Baidhowi dalam kitabnya, Anwaruttanzil wa Asrarut Ta’wil, diriwayatkan bahwa Ibnu Ummi Maktum datang kepada Rasulullah SAW yang sedang bersama pembesar suku Quraisy untuk mengajak mereka masuk Islam. Ibnu Ummi Maktum berkata:

روي: أن ابن أم مكتوم أتى رسول الله صلّى الله عليه وسلم وعنده صناديد قريش يدعوهم إلى الإِسلام، فقال: يا رسول الله علمني مما علمك الله، وكرر ذلك ولم يعلم تشاغله بالقوم، فكره رسول الله صلّى الله عليه وسلم قطعه لكلامه وعبس وأعرض عنه فنزلت، فكان رسول الله صلّى الله عليه وسلم يكرمه ويقول إذا رآه: مرحباً بمن عاتبني فيه ربي، واستخلفه على المدينة مرتين

Artinya: “Diriwayatkan,  Ibnu Ummi Maktum mendatangi Rasulullah saw yang sedang bersama pembesar suku Quraisy, berbincang untuk diajak masuk Islam. Ibnu Ummi Maktum berkata, “Wahai Rasulullah, Beritahulah aku apa yang engkau ketahui tentang Allah.” Dan mengulanginya beberapa kali, namun ia tidak mengetahui bahwa urusan kaum telah menyibukkan Rasulullah saw (sebab kebutaan yang ia alami). Akibat hal tersebut, Rasul tidak senang ketika obrolannya dipotong begitu saja oleh Ibnu Ummi Maktum, kemudian beliau memasang muka masam dan memalingkan wajahnya. Akhirnya turunlah ayat tersebut. (QS. ‘Abasa [80]: 1-4). Setelah itu, Rasulullah saw kemudian memuliakan Ibnu Ummi Maktum dan apabila bertemu beliau selalu berkata kepadanya, “Selamat datang wahai orang yang mengakibatkan aku ditegur oleh Tuhan.” Nabi juga pernah menunjuknya sebagai pengganti beliau di Madinah sebanyak 2 kali.”

Pada ayat ammâ manistaghnâ, fa anta lahû tashaddâ, menurut al-Baidhawi, maksudnya adalah adapun ketika Nabi saw menerima tamu dari pembesar Quraisy, dia bersikap terbuka dan memberikan perhatian lebih. (Imam Al-Baidhawi, Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil, [Beirut: Darul Ihya’ at-Turats, 1997) juz V, halaman 186)

Sementara itu, Muhammad Abdullah al-A’zhami dalam kitab Al-Jami’ al-Kamilmenjelaskan, para pembesar suku Quraisy yang bertamu kepada Rasulullah SAW adalah Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahl bin Hisyam, dan ‘Abbas bin Abdul Muthallib, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA. (Muhammad Abdullah al-A’zhami, Al-Jami’ al-Kamil fii al-Hadits al-Shahih al-Syamil, [Riyadh, Darussalam, 2016] juz 11, hal. 206)

Selanjutnya, Al-Qusyairi dalam Lathaif al-Isyarahmenjelaskan bahwa Ibnu Ummi Maktum yang buta mendatangi Rasulullah SAW ketika beliau sedang bersama al-Abbas bin Abdul Muthalib dan Umayyah bin Khalaf al-Jumahi. Rasulullah berharap keduanya masuk Islam. Namun, karena kedatangan Ibnu Ummi Maktum, obrolan Rasulullah dengan keduanya terputus, dan Rasul menjadi tidak senang. Beliau kemudian memalingkan wajah dari Ibnu Ummi Maktum dan memasang muka masam. Lalu turunlah ayat di atas.

Disebutkan dalam tafsir lain bahwa setelah kejadian itu, Rasulullah SAW keluar dari tempatnya dan memerintahkan sahabat lain untuk mencari Ibnu Ummi Maktum. Setelah kejadian itu, Rasulullah SAW memperlakukan Ibnu Ummi Maktum dengan baik dan memuliakannya, serta menunjuknya sebagai pemimpin di Madinah sebagai pengganti sementara sebanyak dua kali. Dalam tafsiran lain, setelah kejadian tersebut, Rasul tidak pernah lagi memasamkan mukanya kepada orang yang fakir miskin. (Imam Al-Qusyairi, Lathaiful Isyarah, [Mesir: Al-Hai’ah al-Mishriyah, 2010] juz III, hal. 687)

Demikian penjelasan tentang larangan diskriminasi terhadap sesama umat manusia. Dalam sejarahnya, ketika Rasulullah yang sedang berbincang dengan pembesar Quraisy pernah melakukan tindakan tersebut namun langsung ditegur dengan turunnya surat ‘Abasa ayat 1-6. Oleh karena itu, menghindari diskriminasi merupakan sebuah keharusan yang harus dilakukan oleh umat Islam. Poin pentingnya adalah tidak membedakan siapa pun berdasarkan perbedaan kelas sosial, ekonomi, dan lainnya.  Wallahua’lam.

Muhaimin Yasin, Alumnus Pondok Pesantren Ishlahul Muslimin Lombok Barat dan Mahasantri Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah Jakarta.



Source link