Dilansir dari CNBC Indonesia beberapa waktu lalu, warga RI lebih memilih seks bebas dari pada menikah muda. Tidak tanggung-tanggung, dari survei yang dilakukan mendapatkan data 59% laki-laki usia 15-19 tahun telah melakukan hubungan badan di luar nikah. Yang lebih mencengangkan, 74% wanita berusia 15-19 tahun juga telah melakukan hubungan badan di luar nikah. 

Islam sungguh telah mewanti-wanti agar manusia menjauhi zina dan mengecamnya sebagai seburuk-buruk jalan.

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةًۗ وَسَاۤءَ سَبِيْلًا

Artinya, “Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan keji dan jalan terburuk”.(QS Al-Isra’: 32).

Selain menjadi dosa besar yang sanksinya sudah disebutkan secara jelas dalam Al-Qur’an, zina sebagai jalan terburuk karena mengajak pelakunya menuju neraka. Zina semakin menjadi jalan terburuk ketika dilakukan dengan istri tetangga. Pada kondisi seperti ini, zina acap kali menghasilkan anak.

Tidak menutup kemungkinan pada akhirnya akan ada klaim anak kandung, padahal anak tersebut terlahir dari pasangan di luar nikah. Kalau sudah ada klaim anak kandung, maka konsekuensi berikutnya adalah tuntutan harta waris. Sungguh hal ini menjadi kerusakan yang nyata dalam penetapan asal-usul manusia. Al-Qurthubi dalam tafsirnya menyatakan: 

أَيْ : لِأَنَّهُ يُؤَدِّيْ إِلَى النَّارِ وَالزِّنَى مِنَ الْكَبَائِرِ، وَلَا خِلَافَ فِيْهِ وَفِيْ قُبْحِهِ وَلَا سِيَّمَا بِحَلِيْلِةِ الْجَارِ، وَيَنْشَأُ عَنْهُ اِسْتِخْدَامُ وَلَدِ الْغَيْرِ وَاتِّخَاذُهُ اِبْنًا وَغَيْرُ ذَلِكَ مِنَ الْمِيْرَاثِ وَفَسَادِ اْلأَنْسَابِ بِاخْتِلَاطِ الْمِيَاهِ

Artinya: “Maksud (jalan terburuk) karena zina mengajak pada neraka dan zina merupakan salah satu dosa besar. Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini dan dalam keburukannya. Terlebih, zina yang dilakukan dengan istri tetangga. Kemudian menjadikan anak orang lain sebagai pelayanan serta menjadikannya sebagai anak. Selain itu juga muncul permasalahan waris dan rusaknya nasab sebab percampuaran air mani”.(Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, [Beirut, Muassasah Al-Risalah: 2006], jilid XIII, halaman 72).

Pernikahan sebagai Solusi

Guna menghindari zina dan sederet dampak buruknya di kalangan pemuda, Islam telah menawarkan solusi, di antaranya pernikahan. Nabi Muhammad saw bersabda: 

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ

Artinya, “Dari Ibnu Mas’ud ra, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda kepada kita: “Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian telah mampu bersenggama, maka hendaklah dia menikah. Karena pernikahan itu lebih menjaga pandangan serta lebih menjaga kemaluan; dan barang siapa belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa. Karena sesungguhnya puasa itu tameng baginya”.(HR Al-Bukhari). 

Berkaitan hadits Abu Bakar Al-Hishni menjelaskan, kata al-ba’ahbukan hanya sekedar bersenggama, akan tetapi bermakna rumah atau tempat tinggal. Karena laki-laki yang menikahi seorang wanita harus menyiapkan rumah atau tempat tinggal untuknya.

Selain makna ini, kata al-ba’ah memiliki makna biaya nikah. Sehingga hadits dapat dipahami bahwa siapapun yang mampu bersenggama secara fisik dan mampu menanggung biaya nikah, maka hendaknya dia menikah. 

Al-Hishni mengutip pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan sebagaimana hasil survei di atas, hukum nikah menjadi wajib. Tujuannya tidak lain adalah menyelamatkan diri dari perzinahan. 

وَعِنْدَ أَحْمَدَ يَلْزَمُهُ الزَّوَاجُ اَوِ التَّسَرَّى إِذَا خَافَ الْعَنَتَ وَهُوَ الزِّنَا وَهُوَ وَجْهٌ لَنَا وَحُجَّةُ مَنْ قَالَ بِعَدَمِ الْوُجُوْبِ

Artinya, “Menurut Imam Ahmad bin Hanbal wajib bagi orang menikah atau mengambil gundik (dalam konteks tempo dulu saat berlakunya perbudakan) ketika dia takut zina. Ini adalah pendapat yang kita ambil dan sekaligus argumentasi bagi orang yang mengatakan tidak ada hukum wajib dalam pernikahan”. (Kifayatul Akhyar, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah: 2001], halaman 462).

Dalam hal menjaga kemaluan dari zina, Allah telah menyatakan salah satu tolok ukur keberuntungan seorang mukmin adalah ketika mampu menjaga kemaluannya. Kecuali hanya untuk istrinya.

Islam memiliki syariat tersendiri dalam menetapkan status seorang perempuan sebagai istri dari seorang laki-laki. Yaitu hanya dengan pernikahan. 

وَالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حٰفِظُوْنَۙ اِلَّا عَلٰٓى اَزْوَاجِهِمْ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُمْ فَاِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَۚ

Artinya, “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki. Sesungguhnya mereka tidak tercela (karena menggaulinya)”. (QS Al-Mukminun: 5-6).

Alternatif Aktivitas

Faktanya, pemuda berusia antara 15-19 tahun belum mapan secara ekonomi dan bahkan secara fisik maupun mental. Untuk menuju kemapanan tiga hal tersebut, sebaiknya para pemuda mengikuti kegiatan-kegiatan positif, baik yang dilakukan secara individu maupun berkelompok atau dalam sebuah komunitas. Seperti komunitas olahraga, organisasi kepemudaan, keagamaan dan lain sebagainya.

Dengan menyibukkan diri berolahraga baik secara individu maupun kelompok, maka energi dan pikiran pemuda diharapkan tersalurkan dalam bentuk kegiatan fisik. Pada saat yang sama ia dapat melupakan hal-hal negatif yang kerap menghinggapi pikiran ketika menganggur.

Manfaat lain yang pasti didapatkan adalah kesehatan jasmani. Dengan kesehatan jasmani, seorang pemuda dapat melaksanakan berbagai macam kegiatan. Ini lebih dicintai Allah swt dari pada mereka yang lemah.  

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ… رواه مسلم

Artinya, “Dari Abu Hurairah ra berkata: “Nabi Muhammad saw bersabda: “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan dicintai oleh Allah swt daripada mukmin yang lemah …” (HR Muslim).

Dalam menjelaskan hadits, Imam An-Nawawi menegaskan, yang dimaksud kuat dalam hadits adalah tekat dan pembawaan yang kuat dalam diri seseorang dalam urusan akhirat. Pemilik karakter seperti ini lebih banyak tindakan dalam menghadapi musuh ketika berjihad, serta lebih cepat dalam keluar dan berangkat.

Ia juga memiliki tekad lebih kuat dalam hal memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Hal yang tidak kalah penting adalah mampu bersabar dan menahan beban berat karena Allah swt. Lebih suka melaksanakan shalat, puasa, berdzikir dan ibadah lainnya, serta lebih semangat dalam menjaga hal-hal baik tersebut. (Syarhu Sahih Muslim, [Beirut, Dar Ihya’ut Turats: 2006], juz XVI, halalaman 215). 

Selain berolahraga, yang mungkin dilakukan seorang pemuda adalah bergabung dengan organisasi kepemudaan, keagamaan, dan bahkan dengan komunitas usaha kecil. Dalam komunitas sepert ini niscaya akan muncul  ide-ide segar dari para pemuda, sehingga dapat melatih mental, baik dalam menyampaikan ide, menganalis masalah, dan jalan keluarnya. Tidak jarang, bergabung dengan komunitas seperti ini akan membuka pintu rezeki. 

Imam Al-Ghazali mengingatkan agar tidak bergaul dengan orang fasik yang lebih banyak melakukan dosa besar. Juga menghindari orang yang cenderung menumpuk dosa kecil. Karena pada akhirnya tumpukan dosa kecil tersebut akan menjadi dosa besar. Hal ini jelas membahayakan pergaulan seorang pemuda. Karena ia akan cenderung meniru apa yang dilihatnya. 

فَاحْذَرْ صُحْبَةَ الْفَاسِقِ فَإِنَّ مُشَاهَدَةَ الْفِسْقِ وَالْمَعْصِيَّةِ عَلَى الدَّوَامِ تُزِيْلُ عَنْ قَلْبِكَ كَرَاهِيَّةَ الْمَعْصِيَّةِ وَيَهُوْنُ عَلَيْكَ أَمْرُهَا، وَلِذَلِكَ هَانَ عَلَى الْقُلُوْبِ مَعْصِيَّةُ الْغِيْبَةِ لِإِلْفِهِمْ لَهَا

Artinya, “Berhati-hatilah kamu dari pergaulan dengan orang fasik. Karena menyaksikan kefasikan dan maksiat secara terus-menerus dapat menghilangkan ketidaksenangan maksiat dari dalam hatimu dan cenderung ringan melaksanakannya. Karena itu maksiat menggunjing juga ringan di hatimu karena mereka menganggap biasa maksiat”. (Muhammad Nawawi Al-Jawi, Syarh Maraqil Ubudiyah, [Jakarta, Darul Kutub Al-Islamiyah: 2010], halaman 143).

Dari uraian dapat dipahami bahwa zina dengan segala dampak buruknya dapat ditanggulangi dengan pernikahan ketika fisik, mental, dan keuangan sudah mapan. Akan tetapi bagi pemuda yang belum mapan, maka hendaknya mengikuti kegiatan-kegiatan yang berdampak positif secara selektif. Wallahu a’lam.

Ustadz Muhammad Tantowi, Guru MTsN 1 Jember



Source link